WAYANG – Dalam dunia pewayangan kita mengenal dua kubu tokoh secara garis besar, yakni kubu Pandawa (tokoh protagonis) dan kubu Kurawa (tokoh antagonis). Dari pihak Pandawa ada tokoh unik yang bernama Wisanggeni. Ia digambarkan memiliki watak yang terkesan angkuh dan urakan namun berhati mulia.
Wisanggeni adalah putra dari perkawinan Arjuna dengan seorang bidadari bernama Batari Dresanala, putri Batara Brama dan Dewi Saraswati. Wisanggeni merupakan tokoh istimewa dalam pewayangan Jawa. Ia dikenal pemberani, tegas dalam bersikap, serta memiliki kesaktian luar biasa.
Kelahiran Wisanggeni
Dalam kitab Mahabharata dikisahkan, Wisanggeni merupakan anak yang tidak diharapkan kelahirannya oleh Batara Guru (rajanya para Dewa). Akhirnya Dresanala, ibu Wisanggeni pun melahirkan sebelum waktunya. Atas desakan Batara Guru, Batara Brama membuang cucunya itu bayi (Wisanggeni) ke dalam kawah Candradimuka, di Gunung Jamurdipa.
Narada diam-diam mengawasi semua kejadian tersebut. Ia pun membantu bayi Wisanggeni tersebut keluar dari kawah. Secara ajaib, bayi itu telah tumbuh menjadi seorang pemuda. Narada memberinya nama Wisanggeni, yang bermakna “racun api”. Hal ini dikarenakan ia lahir akibat kemarahan Brama, sang dewa penguasa api. Selain itu, ajaibnya api kawah Candradimuka bukannya membunuh justru menghidupkan Wisanggeni menjadi ksatria yang sakti mandraguna.
Kesaktian Wisanggeni
Wisanggeni dikisahkan memiliki banyak kesaktian diantaranya :
Mampu menyerap kesaktian orang lain menjadi miliknya sendiri, memiliki ludah dan gigitan yang mengandung racun api dan mematikan bagi musuhnya, memiliki kekuatan luar biasa yang tak tertandingi, bahkan melebihi Bima, Gatotkaca, dan Antasena, memiliki kemampuan terbang mengarungi angkasa raya, dan memiliki kekebalan terhadap segala senjata dan serangan.
Karakter Wisanggeni
Secara fisik, Wisanggeni digambarkan sebagai pemuda yang terkesan angkuh dan urakan. Namun hatinya baik dan suka menolong. Ia tidak tinggal di dunia bersama para Pandawa, melainkan berada di kahyangan Sanghyang Wenang, leluhur para dewa. Dalam hal berbicara, Wisanggeni tidak pernah menggunakan basa krama (bahasa Jawa halus) kepada siapa pun, kecuali kepada Sanghyang Wenang.
Ada beberapa karakter Wisanggeni yang dapat diteladani, diantaranya
-Keberanian : Wisanggeni berani menuntut keadilan dan kebenaran, bahkan kepada dewa-dewa yang lebih tua darinya. Dia tidak ragu untuk melawan kebatilan dan angkara murka.
-Kecerdasan : Wisanggeni memiliki pemikiran yang cerdas dan selalu mencari kebenaran. Dia mampu melihat tipu muslihat dan menemukan solusi yang kreatif.
-Kejujuran : Wisanggeni selalu berbicara apa adanya, meskipun terkesan ceplas-ceplos. Dia tidak suka bertele-tele dan lebih memilih menyampaikan tujuannya secara langsung.
-Ketegasan : Wisanggeni memiliki pendirian yang teguh dan tidak mudah goyah. Dia berani mempertahankan apa yang dia yakini benar.
-Kepatuhan : Wisanggeni patuh dan berbakti kepada orang tua dan leluhur, meskipun dia tidak selalu setuju dengan mereka. Dia juga patuh kepada Sang Hyang Wenang dan rela moksa demi terwujudnya kebenaran.
-Keikhlasan : Wisanggeni rela mengorbankan kehidupannya demi kebaikan orang lain. Dia tidak egois dan selalu memikirkan kepentingan bersama.
-Kesetiaan : Wisanggeni setia kepada keluarga dan sahabatnya. Dia selalu membantu mereka yang membutuhkan dan tidak pernah berkhianat.
-Idealis : Wisanggeni tidak takut untuk berbeda dari orang lain. Dia memiliki gaya dan kepribadiannya sendiri, dan dia tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya.
-Semangat juang: Wisanggeni memiliki semangat juang yang tinggi. Dia tidak mudah menyerah dan selalu berusaha mencapai tujuannya.
-Rasa hormat: Meskipun Wisanggeni berbicara ceplas-ceplos, dia tetap menghormati orang lain. Dia tidak pernah menghina atau merendahkan orang lain.
Kematian Wisanggeni
Menjelang meletusnya perang Baratayuda, Wisanggeni dan Antasena naik ke Kahyangan Alang-alang Kumitir meminta restu kepada Sanghyang Wenang sebelum mereka bergabung di pihak Pandawa. Akan tetapi, Sanghyang Wenang telah meramalkan, pihak Pandawa justru akan mengalami kekalahan apabila Wisanggeni dan Antasena ikut bertempur, walaupun kesaktian mereka tak tertandingi oleh para Kurawa.
Setelah melalui beberapa pertimbangan, akhirnya Wisanggeni dan Antasena memutuskan untuk tidak kembali ke perkemahan Pandawa. Keduanya rela menjadi tumbal demi kemenangan para Pandawa. Mereka pun mengheningkan cipta. Beberapa waktu kemudian keduanya pun mencapai moksa, musnah bersama jasad mereka. Dan setelah itu, akhirnya pihak Pandawa mendapatkan kemenangan dalam perang Baratayuda.
Dari kisah Wisanggeni ini mengajarkan, untuk menjadi pemenang sejati tak harus berperang, namun tetap berjuang dan rela berkorban.
(Dilansir dari beberapa Sumber)