Refleksi HPN 2026 MEDIA YANG MATI PELAN-PELAN

Refleksi HPN 2026 MEDIA YANG MATI PELAN-PELAN

- Jurnalis

Senin, 29 Desember 2025 - 06:41 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Oleh: Dr. Bagus Sudarmanto, S.Sos., M.Si.

Kematian media tidak selalu ditandai oleh pengumuman tutup redaksi atau berhentinya mesin cetak. Dalam banyak kasus, media justru mati secara perlahan—senyap, tanpa seremoni, dan sering kali tanpa disadari publik. Para pengkaji media, seperti McChesney (2004) dan Curran (2011), telah lama mengingatkan bahwa krisis pers tidak hanya soal bisnis, tetapi juga soal runtuhnya fungsi sosial media dalam demokrasi.

Selama ini, krisis media kerap dibaca melalui penutupan institusi pers atau death by closure (kematian karena tutup). Kita menyaksikannya pada banyak media cetak di Indonesia dan dunia. Bentuk kematian ini paling mudah dikenali dan sering dijadikan indikator utama krisis industri pers, seperti yang ditulis Picard (2010) dalam ekonomi media. Namun, fokus berlebihan pada penutupan media justru menutupi bentuk-bentuk kematian lain yang lebih sunyi tetapi berdampak luas.

Baca Juga :  Polsek Tambora Gercep Amankan Pelajar Yang Hendak Unjuk Rasa di DPR

Bentuk kedua adalah death by silence (kematian karena diam). Media masih ada secara administratif—punya nama, domain, bahkan badan hukum—tetapi nyaris tidak lagi memproduksi jurnalisme yang bermakna. Di Indonesia, fenomena ini jamak terjadi pada media daring lokal atau media yang muncul saat momentum politik, lalu menghilang setelah kepentingan usai. Dalam konteks global, kondisi ini sejalan dengan fenomena news deserts (Abernathy, 2018), wilayah yang secara formal memiliki media tetapi secara praktis kehilangan liputan publik yang berkualitas.

Bentuk ketiga adalah death by hollowing (kematian karena pengosongan). Media tetap hidup dan aktif, tetapi kapasitas jurnalistiknya terkikis dari dalam. Redaksi menyusut, liputan mendalam menghilang, dan berita cepat berbasis “klik” mendominasi ruang redaksi. Sejumlah kajian menyebut fase ini sebagai era post-industrial journalism, ketika tekanan ekonomi dan logika platform digital mengubah jurnalisme menjadi komoditas instan (Anderson, Bell, & Shirky, 2012). Media tidak mati sebagai organisasi, tetapi mati sebagai institusi pengawas kekuasaan.

Baca Juga :  UI Dorong Reformasi Pengawasan Polri Lewat Peluncuran Buku dan Webinar Nasional

Yang paling problematik adalah tipe kematian zombie media (media zombie). Media tampak hidup dan produktif, tetapi secara substantif tidak lagi melayani kepentingan publik. Konten dipenuhi advertorial terselubung, kepentingan politik, atau agenda ekonomi tertentu. Dalam kajian global, kondisi ini sering dikaitkan dengan fenomena media capture dan paralelisme politik, ketika media berada dalam cengkeraman kekuasaan dan modal (Hallin & Mancini, 2004; Schiffrin, 2017). Dalam konteks Indonesia, media zombie kerap menguat dalam siklus elektoral dan dalam struktur kepemilikan media yang terkonsentrasi.

Tiga bentuk terakhir—death by silence, death by hollowing, dan zombie media—membentuk apa yang dapat disebut sebagai dark number of media death (angka gelap kematian media). Konsep ini meminjam logika dark figure of crime dalam kriminologi, yakni realitas yang tidak tercatat dalam statistik resmi tetapi berdampak nyata dalam kehidupan sosial.

Baca Juga :  Lazada Ajak Wartawan Angkat Ekosistem Ekonomi Digital Indonesia Lewat Lomba Tulis

Kalau kita membaca krisis media di Indonesia, ancamannya tak lagi sekadar penutupan redaksi. Banyak media lokal justru mengalami kematian pelan-pelan: death by silence (diam yang berkepanjangan), hollowing (pengosongan fungsi jurnalistik), atau menjelma menjadi zombie media yang kehilangan peran pengawasan dan penguatan demokrasi.

Dalam forum Kaleidoskop Media Massa 2025 pekan kemarin, PWI Pusat menegaskan bahwa mungkin diperlukan dukungan pemerintah, tetapi harus adil, terukur, dan tidak menggerus independensi redaksi. Tanpa langkah itu, media mungkin tetap hidup di atas kertas, namun perlahan mati dalam fungsinya sebagai penyangga demokrasi.

*) Penulis anggota Dewan Redaksi keadilan.id, dosen dan Pengurus Harian PWI Jaya

Berita Terkait

[HOAKS] Dishub DKI Buka Lowongan CPNS Petugas Lapangan
Jelang Akhir Tahun, Banjir Bandang Terjang Kalimantan Selatan
Presiden Prabowo Sampaikan Ucapan Natal 2025, Ajak Perkuat Persatuan dan Solidaritas Nasional
Pemalakan Sopir Travel di Cengkareng Kembali Terjadi, Publik Pertanyakan Kinerja Polsek Cengkareng
Kemenhan–PWI Rencanakan Retret 200 Wartawan di Akmil Magelang
Sempat Mengendap Sejak 2018, Kasus ITE-Pornografi Tuntas di Dit Siber PMJ
Truk Boks Terguling di Flyover Rawa Buaya, Sempat Picu Kemacetan
Pramono Anung Lantik Iin Mutmainnah Jadi Wali Kota Jakarta Barat

Berita Terkait

Senin, 29 Desember 2025 - 06:41 WIB

Refleksi HPN 2026 MEDIA YANG MATI PELAN-PELAN

Minggu, 28 Desember 2025 - 09:27 WIB

[HOAKS] Dishub DKI Buka Lowongan CPNS Petugas Lapangan

Sabtu, 27 Desember 2025 - 20:59 WIB

Jelang Akhir Tahun, Banjir Bandang Terjang Kalimantan Selatan

Jumat, 26 Desember 2025 - 20:05 WIB

Pemalakan Sopir Travel di Cengkareng Kembali Terjadi, Publik Pertanyakan Kinerja Polsek Cengkareng

Rabu, 24 Desember 2025 - 17:15 WIB

Kemenhan–PWI Rencanakan Retret 200 Wartawan di Akmil Magelang

Berita Terbaru

Bisnis & Ekonomi

Refleksi HPN 2026 MEDIA YANG MATI PELAN-PELAN

Senin, 29 Des 2025 - 06:41 WIB

Hoax info lowongan kerja Dishub DKI Jakarta (Foto.Dishub DKI Jakarta)

News

[HOAKS] Dishub DKI Buka Lowongan CPNS Petugas Lapangan

Minggu, 28 Des 2025 - 09:27 WIB