JAKARTA – Sejumlah orang tua siswa SMP Kristoforus 2 menuntut dikembalikan posisi Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah, serta guru mata pelajaran yang dimutasi setelah terungkap adanya perbuatan asusila di sekolah tersebut pada bulan November 2024 lalu. Pertemuan kedua belah pihak diadakan di SMP Kristoforus 2 di Jl. Taman Palem Lestari, Cengkareng, Jakarta-barat (7/12/2024).
Josephine, perwakilan orangtua siswa, kelas 7,8,9, mengungkapkan kekhawatirannya terkait masalah komunikasi yang buruk antara pihak sekolah dan orangtua. Ia menilai bahwa masalah ini sudah berlarut-larut dan mengganggu kegiatan belajar mengajar (KBM) di sekolah. Josephine menuntut agar pihak yayasan segera memberikan pertanggungjawaban atas kejadian ini dan menunjukkan kompetensi dalam mengelola sekolah.
“Terjadi miss komunikasi yang sudah terlalu berlarut-larut, sehingga mengganggu KBM. Kami menuntut pertanggungjawaban yayasan untuk menunjukkan kompetensinya dalam mengelola sekolah,” ujar Josephine.
Tuntutan orang tua adalah mengembalikan posisi Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah, serta guru mata pelajaran yang dimutasi.
“Saya meminta agar tindakan tegas diambil terhadap siswa yang terduga melakukan perbuatan pelecehan seksual yang disamarkan dengan permainan. Mereka juga mendesak evaluasi terhadap pengurus yayasan,” tambah Josefin.
Orangtua berharap agar pihak sekolah dan yayasan segera mengambil langkah-langkah yang lebih jelas dan tegas untuk mengatasi masalah ini demi kepentingan bersama, terutama bagi keselamatan dan kenyamanan anak-anak di lingkungan sekolah.
Kepala Sekolah SMP Kristoforus, Anwar, menjelaskan bahwa pihak sekolah telah melakukan pengecekan dengan memanfaatkan rekaman CCTV untuk memastikan apakah benar terjadi perbuatan asusila atau tidak.
“Kami memang masih meragukan apakah ini termasuk pelecehan seksual atau bukan, karena kami belum memiliki kapasitas untuk memastikan hal tersebut. Anak-anak yang terlibat mengatakan bahwa ini adalah sebuah permainan,” ungkap Anwar.
Menurut Anwar, permainan yang dimaksud melibatkan tindakan di mana seorang siswa memegang kaki teman lainnya dan melakukan gerakan yang tidak wajar di bagian tubuh yang sensitif.
“Pihak sekolah menganggap ini sebagai permainan, namun pihaknya tetap memprosesnya dengan serius,” tutupnya.