Bocah Angon, Bocah Angon
(Anak gembala, Anak Gembala)
Penekna Blimbing Kuwi
(Panjatlah Pohon Belimbing itu)
Lunyu-lunyu Penekna
(Walaupun Licin Tetap Panjatlah)
Kanggo Basuh Dodotira
(Untuk Membasuh Pakaianmu)
TEMBANG – Bait di atas merupakan penggalan syair tembang dolanan Lir – ilir karya Sunan Kalijaga. Menurut literatur sejarah, tembang tersebut diciptakan pada awal abad ke 16 ketika runtuhnya kerajaan Majapahit dan mulai masuknya Islam di pesisir pulau Jawa.
Tembang Lir-ilir dikenal sebagai tembang dolanan atau lagu daerah Jawa, dalam liriknya menggunakan majas perumpamaan yang memiliki ambiguitas (makna ganda). Karya ini mencerminkan kedalaman ilmu dan kebrilianan Sunan Kalijaga dalam berdakwah.
Bukan tanpa sengaja, bila Sunan Kalijaga mengemas ajaran dakwah yang ia dengungkan ke dalam tembang dolanan anak-anak. Ia sangat memahami bahwa tembang dolanan itu bersifat ‘langgeng’, selalu dimainkan/dinyanyikan oleh anak-anak dari masa ke masa. Hal ini terbukti, hingga kini tembang ‘Lir-ilir’ tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Pada gilirannya, pesan dakwah yang ingin disampaikan terus menyebar dan hidup dari waktu ke waktu, merambah lintas generasi.
Melalui tembang Lir-ilir, Sunan Kalijaga mencoba untuk mengajak masyarakat Jawa memeluk, meyakini, dan mengamalkan agama Islam secara perlahan tanpa menabrak tradisi yang sudah lama berkembang. Upaya Sunan Kalijaga ini menauladani Nabi Muhammad SAW dalam berdakwah, yakni bi al-hikmah wa al-mauidhati al-hasanah (metode dakwah yang menggunakan pendekatan bijaksana dan nasihat yang baik).
Sosok Bocah Angon
Ada sosok menarik yang muncul dalam tembang ‘Lir-ilir’, yaitu sosok ‘Bocah Angon’. Tampaknya tokoh ini menjadi figur sentral dalam tembang Lir-ilir. Tentunya akan menimbulkan pertanyaan di benak kita, siapa sesungguhnya sosok Bocah Angon ini? hingga mendapatkan tempat yang begitu penting dalam tembang Lir-ilir.
Untuk mengupas makna ‘Bocah Angon’ (anak gembala) ini, kajian Semiotika sangat cocok untuk diterapkan. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda beserta maknanya. Semiotika berasal dari bahasa Yunani ‘semeion’ yang berarti tanda. Semiotika juga dikenal sebagai ilmu tanda atau semiologi. Tanda (Sign) adalah sesuatu yang memiliki makna, seperti kata, gambar, atau simbol.
Seorang pakar Semiotik, Roland Barthes (ahli sastra dan filsuf Perancis) mengembangkan teori semiotika dalam konteks budaya. Ia menggunakan Semiotika untuk menganalisis makna simbol dan tanda dalam konteks budaya. Menurutnya, dengan memahami semiotika, manusia dapat menganalisis dan memahami makna yang terkait dengan tanda-tanda dalam berbagai konteks, termasuk konteks budaya.
Dalam konteks budaya Jawa, ‘Bocah Angon’ (penggembala) memiliki makna yang berkaitan erat dengan dimensi spiritual. Bocah Angon merupakan simbol ‘Orang Kecil’ (hamba/kawula) yang gigih berjuang (seperti dinarasikan dalam Lir-ilir) dengan memanjat pohon Belimbing walaupun sangat licin.
Dalam konsep Islam, pohon melambangkan sebuah peradaban mapan yang harus diwujudkan dalam cita-cita setiap Muslim. Cita-cita itu hanya bisa capai oleh seorang penggembala (bocah angon), yang telah mampu menggembalakan (mengendalikan) hasrat dan hawa nafsunya.
Bukan kebetulan bila Sunan Kalijaga memilih pohon Belimbing –bukan pohon yang lainnya– sebagai perumpamaan dalam tembang Lir-ilir. Menurut primbon Jawa, pohon Belimbing melambangkan kesuburan, kemakmuran, dan kesejahteraan hidup. Selain itu buah Belimbing yang berbentuk persegi lima juga melambangkan 5 rukun Islam.
Dari yang terlukis dalam tembang Lir-ilir, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa untuk menggapai cita-citanya (kesejahteraan hidup) seorang muslim terlebih dahulu harus menjadi ‘Bocah Angon’ (penggembala) yang mampu menggembalakan/mengendalikan hawa nafsunya, lalu berbekal rukun Islam berjuang dengan gigih menghapus dosa-dosanya serta berbuat kebaikan guna memetik buah keberhasilan (Belimbing).
Akan tetapi tidak cukup sampai disitu, ketika manusia telah memetik “buah” Keberhasilan, maka ‘Bocah Angon’ yang sejati akan duduk termenung di bawah pohon Belimbing, seraya memikirkan bagaimana caranya agar “buah” ini tidak hanya ia nikmati sendiri, namun juga bisa dinikmati oleh orang lain. (*)
Referensi :
Moh Ainul Yaqin (2018), “Dimensi spiritual tembang Lir-Ilir dalam semiotika tasawuf”. UIN Sunan Ampel Surabaya.