BUDAYA – Fenomena mudik telah menjadi sebuah tradisi yang mengakar dan turun-temurun di tengah kehidupan kaum urban. Apalagi menjelang lebaran, kebiasaan yang bertumbuh kembang di masyarakat perkotaan itu menjadi keharusan yang sulit dielakkan. Mobilitas mudik selama berpuluh-puluh tahun atau mungkin berabad-abad dipahami sebagai mekanisme kultural, peristiwa budaya, serta memelihara persaudaraan asal-muasal.
Mudik merupakan kata kerja yang berasal dari kata “udik” yang artinya kampung atau desa. Mudik berasal dari “me-udik” yang diartikan sebagai menuju udik. Atau secara terminologi berarti pulang ke kampung halaman.
Menurut Emha Ainun Nadjib, yang biasa disapa Cak Nun, dalam tayangan diskusi yang bertajuk ‘Mengapa Harus Mudik ?’ di salah satu stasiun televisi nasional beberapa tahun silam, ia mengatakan ada semacam mekanisme melingkar dalam diri kita. Cak Nun menguraikan, bahwa setiap kita pasti akan mengalami perputaran, siklus diri yang disebut ‘kembali’. Sebab, ke depan menuju ‘kembali’, maju untuk ‘kembali’, pergi untuk ‘kembali’, dan seterusnya. Hal itu terjadi pada segala aspek kehidupan.
Bila merujuk pernyataan Cak Nun, kita dapat mengatakan mudik telah menjadi spektrum budaya yang terus hidup dalam masyarakat perkotaan. Gampangnya, mudik dapat dianalogikan seperti ‘lingkaran’ dimana titik awal dan akhir bertemu dalam satu titik.
Kembali Ke Asal
Kota-kota besar seperti Jakarta, faktanya menjadi tempat penggumpalan populasi bahkan penggumpalan ekonomi, dimana bercokol para perantau dari berbagai pelosok yang mengadu nasib mencari penghidupan disana. Pada gilirannya, mudik menjadi solusi sesaat untuk mengurai penggumpalan tersebut karena saat momen lebaran tiba para perantau kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Terlepas dari itu, peristiwa mudik walaupun bersifat tentatif telah mengajarkan kepada masyarakat untuk ingat dan kembali ke tempat asalnya, menempuh perjalanan menuju ‘kampung halaman’ yang selalu dirindukan, baik dalam skala jasmaniah maupun rohaniah.
Masih menurut Cak Nun dalam bukunya “Sedang Tuhan pun Cemburu” (2015), Orang beramai-ramai mudik itu sebenarnya sedang setia pada tuntutan sukmanya untuk bertemu dan berakrab-akrab kembali dengan asal-usulnya.
Mudik itu menandakan komitmen batin manusia terhadap ‘sangkan paran’ dirinya. Setiap orang berusaha berikrar bahwa ia berasal dari suatu akar kehidupan : komunitas etnik, keluarga, sanak famili, bapak-ibu, alam semesta, berpangkal (atau berujung) di Allah melalui runtutan akar historisnya.
“Orang mudik itu sejatinya melaksanakan teologi ‘ilaihi raji’un’ : Kembali ke Allah, melalui asal keluarga dan washillah kesejarahan lainnya. Yakni kesadaran dan keridhaan bahwa kita semua ini berasal dari Allah dan sedang menempuh perjalanan kembali kepada Allah juga, karena tidak ada tempat lain untuk kembali.” Papar Cak Nun dalam bukunya.
Pada konteksnya, Hari raya Idul Fitri merupakan tujuan hakiki dari mudik itu sendiri. Dimana jiwa-jiwa manusia pada hari itu telah kembali kepada fitrahnya, menjadi Fitri (suci) kembali setelah sebulan penuh digembleng dengan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Fitri atau tidaknya setiap jiwa kembali kepada kualitas ibadah yang telah dijalankan masing-masing.
Mudik memang telah menjadi fenomena yang menarik untuk terus dikaji maknanya, substansi nya, juga hakikatnya. Hendaknya masyarakat lebih arif dan mumpuni lagi dalam memaknai mudik, agar mudik tidak hanya diterjemahkan sebagai peristiwa budaya saja namun juga sebagai peristiwa rohani, sehingga mampu kembali ke asal yang sejati.(*)
Referensi : Emha Ainun Nadjib, “Sedang Tuhan pun Cemburu” (2015).