Hikmah – Pada suatu pagi yang cerah-cerah pengap di Kalideres, di sebuah kali legendaris bernama Alur Kuning, meluncurlah sepotong tai yang sedang krisis identitas. Ia bukan sembarang tai—ia tai yang punya mimpi, punya keresahan, dan… punya anak?
Hari itu, 11 Juni 2025, menjadi hari penting dalam hidupnya—hari di mana tai itu mencoba bermeditasi demi ketenangan jiwa dan masa depan keluarga (yang entah gimana bentuknya).
“Oh mai gat! Di mana aku ini? Siapa aku ini? Bagaimana nasib anak-anakku nanti?” jeritnya dengan suara dalam yang hanya bisa didengar oleh sesama tai.
Di tengah kegelisahan eksistensial itu, tiba-tiba terdengar suara mistis—entah dari langit atau dari dalam selokan—berbunyi:
“Woi, tai… meditasi lah. Biar kepalamu nggak ruwet kayak benang kusut.”
Tai itu terdiam. Ia merasa seperti bertemu leluhur. Mungkin ini nenek moyangnya yang dulu juga pernah hanyut tapi lebih spiritual.
Maka mulailah ia bermeditasi. Dengan pose terpejam dan napas satu-satu, ia mengambang di permukaan kali yang aromanya bisa bikin bunga layu. Tapi ia tenang. Fokus. Mindful.
“Mungkin inilah jalanku…,” katanya sambil menahan hanyut ke arah pembuangan.
Tapi, nasib berkata lain. Baru lima menit bermeditasi, tiba-tiba dari arah hilir datang sebuah sandal jepit butut melayang dengan kecepatan Mach 2 dan…
BRAK!!!
Benturan keras membuyarkan konsentrasinya. Tai itu terpelanting, melingkar, dan nyaris pecah wibawa.
Namun ia tak menyerah.
Ia tahu: jalan menuju pencerahan itu penuh rintangan, mulai dari batu, plastik, hingga popok bekas.
Perjalanan tai belum berakhir.
Apakah ia akan menemukan damai di ujung got? Apakah ia akan bertapa di pinggir selokan? Ataukah justru naik kasta menjadi pupuk alami?
Kita tunggu kelanjutannya…
“Tai Bermeditasi Episode 2: The Return of the Popok.”