JAKARTA – Predikat janda disematkan kepada wanita yang telah melakukan perceraian dalam pernikahannya, namun belum menikah lagi. Biasanya mereka disebut “single parents” (Orang tua tunggal) bagi anak-anaknya, jika yang bersangkutan telah memiliki anak. Faktanya, mereka (para single parents) terpaksa harus berjuang sendirian tanpa pasangan hidup untuk membiayai anak-anaknya di tengah carut-marutnya kehidupan.
Tingginya angka perceraian belakangan ini, terutama di kota-kota besar, menyebabkan jumlah wanita yang berstatus janda semakin banyak. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) kasus perceraian pada tahun 2024 mencapai 394.608 kasus (BPS belum merilis angka perceraian 2025 : Red.), kata DataIndonesia.ID. Angka tersebut mencapai 35 persen dari total pernikahan di Indonesia.
Tentunya permasalahan ini menjadi perhatian khusus oleh berbagai kalangan, salah satunya Kementerian Agama (Kemenag). Menteri Agama Nasaruddin Umar, berencana akan menerapkan semacam kursus (pembekalan) bagi calon pengantin yang ingin menikah selama satu semester (6 bulan). Hal ini sebagai bentuk upaya untuk mengantisipasi terjadinya kasus perceraian.
Kasus perceraian di Indonesia, 80 persen terjadi pada usia pernikahan di bawah lima tahun. Biasanya dipicu oleh masalah ekonomi, perbedaan usia, pendidikan, dan perselingkuhan. Oleh karenanya Kemenag menilai, pembekalan yang mendalam kepada calon pengantin sangatlah penting guna mengatasi maraknya kasus perceraian.
Bila ditinjau dari wilayahnya, pada tahun 2024 Jawa Barat masih menjadi Provinsi dengan angka perceraian tertinggi di Indonesia (88.842 kasus). Jawa Timur berada di posisi kedua (77.658 kasus). Sedangkan Jawa Tengah di peringkat ketiga (64.569 kasus). Sumatra Utara menempati urutan ke empat (15.752 kasus). Lampung berada di peringkat kelima (14.471 kasus). Diikuti oleh Banten (13.456 kasus), yang terakhir DKI Jakarta (12.149 kasus), menurut DataIndonesia.ID.
Fenomena Janda
Akibat tingginya angka perceraian faktanya kian merebak wanita yang berpredikat Janda. Fenomena ini, terutama di kota besar seperti Jakarta, tentunya akan memunculkan masalah sosial di tengah masyarakat. Status Janda kerap kali mendapatkan stigma buruk oleh masyarakat (walaupun tidak semua). Belum lagi anak-anak mereka yang terpaksa “diyatimkan” oleh keadaan, tentunya akan tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang kurang sehat akibat minimnya pengawasan dari orang tua. Ketidakseimbangan sosial ini harus mendapatkan empati khusus dari semua komponen masyarakat.
Sering kita jumpai, akibat himpitan ekonomi cukup banyak wanita yang berstatus janda di kota-kota besar terjerumus ke dalam lembah hitam, seperti prostitusi dan gemerlap kehidupan malam lainnya. Pastinya hal ini akan menimbulkan masalah sosial, terciptanya “sampah-sampah” di tengah kehidupan masyarakat.
Tak pelak lagi, fenomena ini selayaknya menjadi keprihatinan kita bersama yang perlu dicarikan solusinya, bukan hanya dari pemerintah dan pemuka agama, tapi juga dari kita selaku komponen masyarakat. Perlu untuk direnungi bersama, apakah hukum pernikahan perlu dikaji ulang kembali untuk meminimalisir perceraian ? ataukah psikologi sosial perlu dibenahi kembali demi kemaslahatan masyarakat ?
Namun yang terpenting, bagaimana memulihkan kembali harkat dan martabat para Janda yang telanjur mendapatkan preseden buruk di tengah masyarakat. (*)